Maaf, dan Selamat Untukmu

Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu punya sahabat dekat, sangat dekat sekali, dan kamu tidak datang ke pernikahannya? Kamu tidak datang ke pernikahan dia, padahal rencana pernikahan itu sudah disusun sejak lama. Kamu tidak datang, tidak mengucap selamat di telepon, bahkan tak mengucap maaf di pesan elektronik. Apa yang akan kamu lakukan kepadanya di kemudian hari?

Karena memberikan sebuah alasan dan mengucap maaf, sudah tidak lagi dibutuhkan.

Saya, melakukan hal di atas, terkutuklah saya!

31 mei 2014 kemarin adalah pernikahan sahabat terdekat, terbaik, tercantik, terpintar, tersabar, ter-segala-galanya di mata saya. Dia satu-satunya perempuan yang PALING tahu semua tentang saya, sampai ke rahasia terkecil sekalipun. Teman pertama semasa SMA, yang selalu ada buat saya, tapi saya tidak pernah ada untuknya. Perempuan penyuka warna hijau, yang lahir tanggal 24 Oktober 1992.

Pertemuan kami kali pertama saat berpapasan di depan kantor SMA, setelah mendapat keputusan bahwa kami lulus masuk SMA tersebut. First impression saya padanya tidak terlalu baik, sebab saya merasa suci dan sok tahu tentang ini itu, merasa lebih baik darinya.

Kami berkenalan.

Dia memakai rok kotak-kotak biru, blouse biru dongker, kerudung bergo warna putih ukuran s. Saya bahkan masih ingat jelas hari itu. Senyumnya yang terlalu ramah dan kecerewetannya di pertemuan pertama membuat saya merasa dia tidak akan bisa berteman dengan saya. Hari-hari selanjutnya, saya ke mana-mana bersama dia. Kenyataan bahwa saya sarkas dan keras tidak membuatnya menjauhi saya. Saya tahu sikap buruk saya bahwa keras dan blak-blak-an tidak baik karena dapat melukai perasaan seseorang, tapi saya tak mengubah sikap tersebut (sampai sekarang) dan biarlah itu jadi ciri khas saya.

Dan perempuan ini, sering sekali kena amuk. Satu sikapnya yang buruk di mata saya, selalu saya tegur. Saya jahat, tapi dia tak mempermasalahkannya. Dia bahkan mengubah sikap-sikapnya, mengubah gaya berpakaiannya, mengubah tutur katanya, dan semua kearah yang positif.

Bulan – bulan selanjutnya di sekolah, percaya atau tidak, pem-bully-an memang ada di sekolah SMA manapun, termasuk sekolah saya. Tak parah, tetapi bullying kata-kata mampu membuat seseorang rapuh. Bagaimana saya bisa lupa, bagaimana saya bisa tutup mulut, bagaimana saya bisa melupakan, dan tak menceritakannya di sini, kalau yang menjadi korbannya adalah, dia.

Alasannya simpel ;
1. dia cantik (sekali),
2. pintar,
3. disukai banyak orang,
4. Terlalu baik dan (seolah) tak peduli.

Membuat dia sempat tak ada teman dan saya tak tahu, kenapa saya memilih untuk menjadi orang yang menemani dia ketimbang memusuhinya. Naluri saya mengatakan dia butuh saya. Lalu saya ada untuknya, meski bukan menjadi orang terdepan yang bisa membelanya.

Dia melakukan hal yang lebih baik. Kadang amarah saya meledak tanpa lihat situasi dan kondisi. Lantas dia yang akan mendinginkan kepala saya yang mendidih dan dia pula yang menjelaskan kepada orang tentang mengapa saya marah. Dia tidak memberikan alasan yang sesungguhnya agar tak lagi memicu perselisihan, dia berbohong, demi saya.

Dia juga yang pertama kali mengkritik tulisan saya. Cerpen yang kali pertama saya buat, saat semua orang mengatakan bagus dan keren, memuja-muji ide saya, hanya dia yang bilang tidak bagus. Ada yang kurang, begini begitu, dan kritik dia justru membuat saya terus menulis sampai sekarang. Terus menulis dan tak pernah merasa puas, membuat saya ingin belajar terus.

Dia juga yang membangkitkan saya, waktu saya payah dalam segala jenis pelajaran, dia menyemangati dan mengatakan, bahwa suatu hari saya akan hebat dalam suatu bidang. Kelak saya tahu, masuk jurusan sastra dan baik di bidang ini, termasuk dukungannya di masa dahulu.

Tahun – tahun berlalu, dan jika siapa saja yang melihat foto kenang – kenangan suatu acara semasa SMA, selalu ada saya dan dia.

Satu hal yang paling saya ingat, kami berdua kuat (fisik) dan tidak pernah sakit. Suatu kali saat kelas 12 dia sakit parah karena padatnya aktivitas yang menjarah waktu. Pukul setengah dua belas malam, saya mengantarnya ke rumah sakit, menemani dia di IGD, menyerahkan tangan saya untuk digenggamnya saat ia kesakitan disuntik. Esoknya ia mulai membaik, tapi tubuh saya menjadi sedikit demam. Bukan menular. Tapi kami seperti berbagi kesakitan.

Kami selalu bersama, selalu ada, selalu siaga.

Bahkan saat dia kuliah di Semarang dan saya di Bogor, kami tak henti berkomunikasi. Bercerita tentang kerja, cinta, pesta, dan aib sekalipun kami ceritakan. Tak puas dengan komunikasi elektronik, saya menyusulnya ke Semarang, berlibur beberapa hari. Atau saat-saat reuni adalah saat yang saya nantikan agar bisa bertemu dengannya.

Dia anak yang kuat. Dia TIDAK PERNAH menangis di depan siapa pun, tidak mau terlihat lelah, tidak ingin mengeluh, tak mau ketahuan cemburu. Kecuali di depan saya (dan Tuhan tentunya) ; dia bisa menjadi se-rapuh-rapuhnya orang.

Sementara saya yang galak, cuek, tidak peka, dan penuh optimisme, bisa menjadi orang paling pesimis di depannya, mengeluhkan semua kekhawatiran saya, dan dia akan menguatkan.

Tahun-tahun mendekati pengerjaan skripsi ini, kami jarang sekali berkomunikasi. Tapi kami selalu bersedekap dalam doa. Sesekali bercerita tapi lupa menanyakan “apa kabar” . Sesekali mengeluh dan lupa mengucap “terima kasih sudah mendengarkan” . Tapi saya selalu tahu isi hatinya, yang baik, bersih, tulus, dan lebih suci dari saya. Hati yang bahkan tak pernah diracuni oleh perasaan dengki atau marah. Saya pun tahu dia selalu memahami kesibukan saya yang tiada habisnya. Dia tak marah, sebab yang menyuruh saya agar menjadi sesibuk ini, adalah dia. Menurutnya, saya tak pantas diam sehari pun.

Hubungan pertemanan kami yang berkembang dengan sangat aneh ; dia yang terlalu sabar dan saya yang terlalu keras, justru malah merekatkan kami sampai sekarang.

Kemudian tibalah saat itu,

Pernikahan.

Cemburu? Tidak. Saya senang dengan kabar tersebut. Jika sahabat saya menikah, itu artinya teman saya akan bertambah. Ya, suaminya tentu harus dikenalkan ke saya dan kami menjadi teman. Lalu jika mereka sudah mempunya anak, semakin bertambah pula teman untuk saya.

Kami berbincang lama soal pernikahannya, mencatat tanggal-tanggal sakral, dan basa-basi menayakan hadiah apa yang dia inginkan.

Saya catat, saya pasang alam, 31 MEI 2014.

image

Prosesi ijab qabul di Tangerang. Dia cantik sekali, ya :’)

image

Bersama keluarga dari kedua mempelai.

image

Resepsi pernikahan yang sederhana namun penuh keromantisan :’)

Dan pada hari itu,
Saya,
Tidak datang,
Tidak mengucap selamat berbahagia,
Tidak meminta maaf karena tak hadir,
Tidak menitipkan kado,
Tidak juga meminta maaf setelah hari keempat pernikahannya.

Orang macam apa saya?

Bukan sengaja, bertepatan pada hari itu, ada sidang kongres (pembacaan laporan pertangungjawaban dan serah terima jabatan Badan Legislatif Mahasiswa tingkat universitas) di kampus, dan saya menjadi pimpinan sidang, di mana artinya, saya tidak bisa ke mana-mana, tidak bisa bermain ponsel walau sebentar.

Dan perihal tiga hari setelah pernikahannya saya tidak memberi kabar, karena saya memang terlalu (sok) sibuk sampai melupakan urusan ini. Saya tahu, saya terlalu kelewatan.

Saya tidak tahu lagi bagaimana caranya agar dia mau memaafkan saya. Saya tahu maaf tak akan mengubah apa yang sudah terjadi. Saya tahu alasan saya di atas sudah tidak bisa menjadi penawar agar marahnya berkurang.

Saya, sungguh menyesal.

Bagaimana mungkin dia menunggu kedatangan saya di sana, dan saya sibuk memikirkan urusan saya sendiri di sini. Sungguh egois, bukan?

Saya sudah terlalu sering menyepelekan hal-hal penting seperti tak mengucapkan selamat ulang tahun, tak datang ke pernikahan, tak hadir ke pemakaman, dan saya rasa orang bisa mengerti kondisi saya.

Tapi untuk yang satu ini, untuk dia, untuk orang yang wajahnya banyak di album foto, di pigura kamar, di dalam mimpi, di setiap doa, untuk dia, saya tahu ini sudah keterlaluan.

Hai, kamu. Semoga kamu membaca ini. Dalam waktu sesingkat ini, hanya bisa maaf yang terlontar. Saya tahu ini terlalu menyakitkan buatmu, dan saya harap kamu bisa datang nanti di pernikahan saya, atau minimal, di pemakaman saya. Saya tahu kamu bukan pendendam, dan kamu bijaksana. Tapi kalau pun kamu marah, saya mengerti. Saya sungguh menyesal karena membuatmu kecewa.

Tapi ketahuilah, saat itu, saat kamu sibuk bersalaman dengan para tamu, saat saya sedang sibuk mencatat perbincangan di forum rapat, saat itu pula saya tak henti mengucap doa untukmu. Kamu tahu, tak ada yang lebih saya inginkan darimu, kecuali melihatmu bahagia, meski saya tak bisa menyaksikannya.

Maaf,

Dan semoga kamu bahagia dalam ikatan pernikahanmu.

I suggest you to visit my another blog at http://chairanidzalika.blogspot.com thanks!

5 thoughts on “Maaf, dan Selamat Untukmu”

  1. Saya jadi ingat, dulu waktu sahabat saya sedari SMP menikah, saya juga nggak hadir di resepsi pernikahannya. Berbagai alasan mungkin sama sekali tidak bisa diterima mengingat dia adalah sahabat terbaik.

    Dan, yang sangat saya sesali adalah.. Dia mengantarkan CD yang berisi foto-foto resepsi pernikahannya ke rumah. Padahal saat itu dia sedang terserang penyakit yang harus menjalani pengobatan intensif -rawat jalan-. Dengan wajah yang sangat sayu, dia berpamitan, kalo dia mau mudik ke rumah suaminya. Dan betapa sakitnya saya.. Karena itu juga merupakan hari terakhir saya bertemu dengannya. Sekarang dia sudah berada tenang di sisi-Nya. Dia berpamitan ke saya sebelum dia benar-benar pergi jauh meninggalkan saya. *curhat* :”)

    segeralah menemuinya, Uni. 🙂

Leave a comment