Bacaan Pagi untuk Papa

Pa, semoga fajar ini papa membaca tulisanku, bukan memilih koran, atau berkas-berkas pekerjaanmu.

Selamat pagi papa, yang entah sedang apa sekarang. Bagaimana rasanya hidup terpisah denganku, si anak bungsumu? Bagaimana rasanya berpisah selama empat belas tahun, pa? Bahagia? Sepertinya hidupmu yang sekarang lebih tenang, dan tanpa masalah ya. Kuharap engkau baik-baik saja.

Pa, aku sekarang sudah besar. Usiaku sudah sampai di kepala dua. Aku bukan lagi anak kecil yang hidup dalam pengharapan-pengharapan tak pasti, seperti yang dulu selalu engkau lakukan demi menyenangkan aku. Seharusnya, anak kecil tidak perlu dijanjikan suatu hal, pa.

Aku masih (dan akan selalu) ingat setiap kali menemani papa kerja, dan pulangnya kita melewati salah satu terminal di Jakarta. Kita memandangi bus tingkat dua yang unik. Katamu, suatu hari kita akan naik ke sana dan aku duduk di lantai dua, di pangkuanmu. Katamu, untuk saat itu kita belum waktunya naik, bukan karena tidak ada uang, tapi karena kau sibuk. Katamu, akan ada saat yang tepat. Aku percaya, dan aku terus menunggu.

Apakah papa masih ingat, saat ulang tahunku ketujuh, dan kau membuat perayaan besar, kemudian aku meminta hadiah istimewa yang belum bisa kau penuhi. Aku minta sepatu hak. Katamu, kelak saat aku dewasa, aku boleh memakainya, Kau akan belikan yang paling nyaman buatku. Maka, aku membiarkan waktu menggiringku untuk menjadi dewasa.

Aku suka kalau kau pulang kerja, karena selalu ada sate padang untukku. Ya, untukku. Tidak untuk dua anakmu. Katamu, untuk menjadi perempuan cantik aku harus bersikap adil. Maka sate tersebut kubiarkan dimakan bersama-sama.

Tahun-tahun saat aku bersamamu selalu menyenangkan. (Hampir) setiap hari kau mengantarku ke sekolah dengan sepeda. Katamu, mobil yang kita punya hanya boleh digunakan untuk bekerja. Dan saat mengayuh sepeda, aku selalu suka memeluk pinggangmu dari jok belakang, takut terjatuh.

Omong-omong soal terjatuh pa, aku masih sering jatuh sampai sekarang. Tapi jatuhku yang paling parah memang hanya saat itu, sepulang aku mengaji, dan kau marah-marah karena lututku berdarah. (Dan lukanya masih berbekas sampai sekarang).

Aku ingat, dulu kau sering membuatkan stiker lucu, kartu nama, mencetak buku tulis yang cover-nya hasil gambarku. Waktu kau ajak aku ke tempat kerjamu, aku melihat setumpuk undangan pernikahan. Katamu, suatu saat nanti, kelak ketika usiaku cukup, kamu akan membuatkan undangan pernikahan paling manis untukku. Mataku berbinar, aku membayangkan saat itu tiba.

Anak mana yang tidak bangga, ketika papa-nya bisa mewujudkan apa yang anaknya mau? Ah, pa. Aku serasa jadi putri paling bahagia yang hidup berselimut janji-janji dari seorang Raja.

Tapi, di suatu malam, hujan deras, dan aku masih tertidur pulas. Aku dengar suatu kegaduhan, namun tidak cukup peka. Setelah hari itu, dengan segala hal yang tidak kumengerti, papa memutuskan untuk pergi, membatalkan janji-janji yang sempat terpatri.

Aku masih menunggumu kembali dan mengajakku naik bus tingkat, menanti kepulanganmu sambil membawa sate padang, menunggu pagi untuk segera memeluk pinggangmu, tapi itu semua tidak pernah terjadi. Kamu menanggalkan janji.

—–

Bagaimana perasaanmu saat memutuskan untuk pergi, pa? Katakan saja yang jujur, aku tidak akan menangis. Aku yang sekarang serba realistis. Aku tumbuh menjadi anak yang terlalu sistematis. Aku menjadi dewasa secara otomatis. Menjadi pribadi koleris, dan berusaha untuk selalu optimis. karena kehilanganmu, membuatku harus sadar bahwa aku bukan lagi seorang putri. Sang Raja telah pergi.

Empat belas tahun setelah kau pergi, aku kuat. Aku sudah berhenti menangisi kepergianmu. Tapi hati ini tidak kebas menghadapi kehilangan. Dan di tahun ini, aku nyaris angkat tangan, pa. Istrimu sakit. Dan aku kembali takut untuk kehilangan, tidak siap.

Istrimu mendidikku jauh lebih baik darimu. Dia memang ibu yang paling luar biasa. Memberi makan yang banyak, uang cukup, dan kasih sayang tak terbatas. Sejak kecil aku memang tidak akrab dengan istrimu -orang yang melahirkanku, tapi bukan berarti aku tak sayang. Aku menyayanginya pa, dia jantung hatiku. Dan asal papa tahu, dia selalu menyebut namamu. Dia membuatmu mengada di rumah ini, mengumpulkan kenangan tentangmu yang sebelumnya berserakan, mengingatkan bahwa kau memang nyata dalam hidupku, (seolah-olah) engkau tidak pernah pergi meninggalkanku.

Hampir tiga minggu yang lalu istrimu sakit, pa. Aku cemas, panik. Ini sakitnya yang pertama kali setelah EMPAT BELAS TAHUN hidup tanpamu.
Tiga minggu ini jadwal kami berubah. Aku hampir menyerah mengurus semuanya sendirian. Mengambil alih pekerjaan rumah, pekerjaan kantor istrimu, dan semua aktivitas (pribadiku) mati. Untungnya, anak laki-lakimu pulang ke rumah dan memasak ini itu. Anak perempuanmu datang akhir pekan dan menemani mengobrol. Dan dalam keadaan seperti ini, masih tentang kamu yang dibicarakannya. Lihat, betapa istrimu mencintaimu dengan sangat setia, pa.

Aku hampir putus asa, pa. Tapi aku ingat bagaimana istrimu ini merawatku selama puluhan tahun. Aku tidak pesimis, hanya saja mengeluh terbukti meringankan beban. Dan di surat inilah aku mengeluh.

Aku sengaja membuat surat, sebab aku belum bisa berlama-lama datang ke pusaramu, pa. Aku sudah jarang datang ke pemakamanmu, dan untuk saat ini aku memutuskan untuk selalu ada di samping istrimu.

Pa, tolong bilang sama Tuhan, agar jatah sebagian umurku diberikan untuk istrimu. Aku tidak akan pernah siap kehilangan. Aku menyanginya dan aku tahu, rasa sayangnya kepadaku lebih besar.

Aku mengerti kalau papa tidak akan pulang ke rumah meski aku cerita panjang lebar. Aku hanya ingin papa membacanya. Tolong yakinkan aku bahwa jantung hatiku tidak akan meninggalkanku, buat aku percaya kalau (saat ini) belahan jiwamu tidak akan pergi menyusulmu.

Pa, bagaiman rasanya surga? Semoga kita bisa bertemu lagi di lain masa. Tapi untuk saat ini, biarkan aku dan istrimu bersama lebih lama.

Oh iya. Lusa 28 februari. Selamat ulang tahun papa. Semoga di dalam kubur selalu terang dan tidak kesempitan. Semoga tidak pernah kesakitan, dan semoga (selalu) bisa menjawab pertanyaan malaikat. Aku sayang papa.

Dariku,
Putri bungsu papa yang masih manja.

P.s : Aku sudah merelakan kau tak kembali, meskipun kau pergi dengan cara yang tidak bisa kupahami. Aku sudah tidak lagi menunggumu, tidak akan menagih janji. Membuat surat ini hanya sederhana mauku, semoga papa membacanya. Tapi aku tahu, engkau tidak akan pernah membacanya.

17 thoughts on “Bacaan Pagi untuk Papa”

  1. Dahulu aku juga punya permintaan seperti itu kepada Sang Pencipta.

    Dan iya, aku juga sudah merelakannya sejak awal tahu ia dipanggil Tuhan.

    *mewek*

Leave a reply to unidzalika Cancel reply